Jumat, 21 November 2014

Budaya "saya kira" VS Budaya Permisi

Yo! Apa kabar kalian semua? Aku harap kalian dalam keadaan baik dan kudo'akan sehat selalu. Karena kesehatan itu begitu penting dalma pencapaian usaha kita saat ini, apa pun yang ingin kita capai. Belakangan ini kebetulan keadaanku kurang sehat hingga kelewat satu minggu nggak posting blog ini. Kaget juga sampe nggak bisa nulis dan baru nyadar kalo nulis itu butuh mikir yah hahahaha (jadi selama ini nulis nggak pake mikir apa?). Tenang, sekarang sudah sehat kok dan mari kita mulai!

Postingan kali ini merupakan hasil remake postinganku sebelumnya, yakni "Pentingnya Basa-basi". Indonesia terkenal dengan keramah-tamahannya, yang mencakup dengan sopan santun dan etikanya. Baru-baru ini, sebuah iklan menggelitik saya dengan dialog seseorang yang kurang lebih seperti ini: "Masalah berat yang Indonesia hadapi saat ini adalah apatis". Seperti yang kita tahu, rasa apatis memiliki arti ketidakpedulian. Dan tanpa kita sadari, ternyata kata "permisi" yang kita gunakan selama ini telah mencakup sebuah kepedulian.

Bicara soal "permisi", kebanyakan orang mengira ini mengenai antrian. Ya, tidak dapat dipungkiri kalau negara kita ini masih susah untuk mengantri atau pun berbaris dengan rapi misalnya. Tapi nyatanya "permisi" bisa jadi sebuah budaya kita yang mulai memudar perlahan dan digantikan dengan budaya "saya kira" (ini bukan kira deathnote atau apapun yah. Kira untuk mengira atau menduga).

Skenario pertama, (budaya "saya kira")
Cinta: Eh itu kan sandal jepit gue!
Rangga: Oh, saya kirain kamu uda nggak pake makanya saya ambil buat saya. Lagian uda jelek, buluk ini.
Cinta: (nge-batin) padahal itu sandal jepit favorit gue. Yauda ambil aja.

Skenario kedua, (budaya permisi)
Rangga: Cinta, ini sandal jepit kamu yah? Boleh nggak buat saya? Sandal jepit saya putus dan...
Cinta: Oh ya ambil aja, nggak apa-apa kok. Lagian uda nggak gue pake juga.
Rangga: Makasih yah.

Lebih enak mana? Tentu lebih asik skenario kedua kan? Akan tetapi tanpa disadari kita selalu menjalani skenario pertama tanpa disadari. Contoh paling dekat yaa sama teman sendiri terutama teman dekat. Begini skenarionya!

Di kantin,
Rangga: Kerupuk saya mana yah? Perasaan tadi beli 4, kok sekarang tinggal 2?
Cinta: Eh sorry gue makan tadi. Nanti gue ganti deh, gue laper banget. Setau gue, lo nggak gitu suka kerupuk deh.
Rangga: Nggak apa-apa, santai aja kali. (nge-batin) padahal saya jadi doyan kerupuk sejak kamu yang ngasih waktu makan bakso dulu.

Baiknya teman baik adalah yaah merelakan keinginan atau hal yang sedang dimiliki karena keburu diambil teman tanpa permisi (kalo dianalogikan pacar yah ditikung kali ye? Heuheuheu). Tapi coba pikirin deh, walau mereka teman baik kita pasti ada saat dimana mereka ngerasa kesal dari hal yang menurut kita sepele kayak skenario di sana. Nggak muluk, aku pun juga pasti pernah merasa kesal. Skenario-skneario di atas hanyalah contoh kecil saja dari perbandingan budaya "saya kira" dengan budaya permisi. Menurutku, budaya "saya kira" muncul dari perilaku cepat berprasangka dan mempermainkan sebuah dugaan menjadi sebuah keyakinan sendiri. Dan semua hal itu bisa juga disebut dengan "judge" atau tanpa sadar menghakimi seseorang. Sementara budaya permisi mencakup sebuah tata krama, sopan santun, dan tentunya kepedulian. Hal sederhana dari permisi itu adalah gambar di bawah ini,

Umumnya, kata "permisi" diajarkan pada kita ketika melewati beberapa orang yang lebih tua. Nilai kepedulian di sini muncul dengan menyadari keadaan sekeliling. Sadar di sana ada orang yang lebih tua atau mungkin sadar ada beberapa orang yang akan keganggu oleh kegiatan kecil kita, misalnya. Budaya permisi yang mencakup sopan santun ini tentunya juga berisikan kata-kata ajaib seperti: "maaf" dan "terima kasih". 2 kata ajaib ini beneran ajaib loh tetapi sayangnya mulai sedikit terdengar dan lebih banyak terdengar dari bibir kasir supermarket atau pun pelayan sebuah rumah makan.

Budaya "saya kira" tentu paling sering kita dengar dengan beberapa orang yang mulau men-judge ini itu. Paling sederhana, "Dia kan jilbabnya panjang, put! Mana mau diajak kesono!". Ahya, aku seringkali mendengar kalimat itu ketika menceritakan keinginanku mengajak si ini dan si itu ke suatu acara. Sumpah aku nggak ngerti kenapa jilbab panjang bisa dijadikan alasan untuk mencegahku mengajak seseorang ke suatu acara? (beneran nggak ngerti sama judge ini dan kenapa ada judge ini). Tentunya masih banyak lagi judge yang nggak bisa kusebutkan di sini dan semua termasuk ke dalam budaya "saya kira", yep kerjaannya mengira-ngira mulu. Padahal ilmuwan dan arsitek mengira-ngira sebuah ukuran ada perhitungannya.
PERMISI BUKAN SEKADAR BASA-BASI
Ohya, salam dan pamit juga merupakan cakupan dari budaya permisi. 2 hal ini juga mulai terlupakan, karena jaman membuat segalanya serba instan hingga tanpa sadar membuat kita menuntut segala sesuatunya cepat, tak sabar dan tak betah untuk melakukan basa-basi sedikit yang sekiranya menjadi bagian dari "permisi" itu sendiri. Semoga kita dapat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih terpelihara rasa peduli dan sopan santun-nya. Mari berusaha!

Sumber foto:

*edisi "aku"*

15 komentar:

  1. Huehehe :D Rangga dan Cinta...Sukses :D
    Salam,
    bacotangibran.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Bener ya, aku sendiri lebih sering nemuin orang yang pake budaya "saya kira".
    Semoga kita bisa menggunakan budaya permisi ya. Mari Berusaha! :D

    BalasHapus
  3. Permisi, izin komen ya. *haha*

    Iya nih, sering banget kejadian gini. Dikosan setiap mau keluar kadang2 harus kehilangan helm, sendal, sapu, mantel hujan. Semuanya pada 'minjem' dengan perkiraan mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkeun masuk.
      Aduh helm pula bukan barang sepele itu mah. Nah nggak asik tuh yang minjem dengan sesuai dugaan dan perkiraan mereka yang mungkin menganggap sepele padahal bagi kita berarti yah.

      Hapus
  4. Saya sih orangnya sopan banget, sama semut aja bilang permisi *dikeplak*

    Yah, kadang sebuah permisi udah dianggap kuno banget, mungkin budaya "saya kira" sedang gaul dan banyak disegani, tapi bahanya sih budaya "saya kira" mudah menular ke banyak orang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begimane permisinya sama semut? Hahaha iyaa karena memang mungkin terasa kuno yah.

      Hapus
  5. Iya bener banget. Harusnya apa-apa harus diomongin ke orangnya dulu ya. Apalagi budaya kita ini juga budaya 'mbatin' :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibaratnya banyak yang memilih untuk diam, tetapi yang diam malah mengambil tindakan sendiri --"

      Hapus
  6. Skenariomu itu loh.. hahaha
    andai aja ambil pacar orang bisa semudah 'saya kira' hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Loh kayaknya sih mudah maka dari itu ada istilah tikungan kan? :/ ye kali ah ngambil pacar orang pake permisi hemm

      Hapus
    2. Tapi tetep susah dilakuinnyaa... hahhaha

      Hapus
  7. Iyasih, benar banget. Lebih prefer ke 'PERMISI'.

    BalasHapus